GA MUDIK (SIROH SOHABAH)
Ramadhan yang berbeda, tanpa mudik, tanpa berkumpul bersama keluarga, bagi sebagian orang mungkin hal biasa tapi bagi yang lainnya ini adalah pengalaman perdana dan pastinya akan sangat menyakitkan dan memilukan.
Kerinduan kepada kedua orang tua mungkin tak akan bisa hanyutkan dimuara hanya dengan saling sapa di WA atau videocall bertatap muka, kecintaan kepada keduanyapun terhalang oleh lockdown, hanya bisa tersalurkan dengan do'a do'a dan tertelepatikan via tangis dikala mengingatnya.
Benarlah kecintaan kita kepada mereka tak akan terkata kata saking besarnya, bisakah kita menempatkan kecintaan seseorang mengungguli kecintaan kepada kedua?
Pemuda itu masih tetap tak mengindahkan perkataan sang ibu yang sangat ia cinta, ibunya pun tak habis cara, ia sangat paham bahwa anak laki lakinya itu benar benar mencintainya dan tak akan tega melihat ibunya terluka, maka ia berkata atas penolakaannya itu
"Jadi kau mengutamakan orang itu, mengiyakan apa yang ia bawa dari permintaan ibumu? Ibu bersumpah tak akan makan dan minum hingga kau mau kembali!" .
Bingung dan khawatir menguasai pikirannya, ia pun memilih pergi meninggalkan ibunya.
Hari hari bergulir berlalu tapi ibu pemuda itu masih keukeuh pada sumpahnya, kelemahan demi kelemahan perlahan menjalar pada tubuhnya yang tak ternutrisi lagi, hingga pada suatu hari seakan seluruh tubuhnya melemas tak berdaya agaknya ajal mulai menghampiri ibu itu. "Hai sa'ad! Ibumu! Ibumu sedang meregang nyawa, cepatlah semoga saja kehadiranmu bisa mengobatinya" kata seorang yang dari kejauhan menghampirinya, iapun bersegera menuju ibunya tercinta itu, dilihatnya tubuh wanita yang paling ia sayangi terbujur kaku, tapi ia masih sadarkan diri, didekatinya ibunya itu, ia dekatkan kepalanya merendah hingga setara dengan pembaringan ibunya, lalu ia bisikan pada telinganya "ibuku tercinta, walaupun ibu punya 100 nyawa, dan satu demi satu nyawa ibu meregang aku tidak akan meninggalkan agama ini! Maka terserah ibu mau makan atau tetap pada keadaan ini" katanya dengan penuh keyakinan dan kecintaan kepada Allah dan Rosulnya.
Dialah Sa'ad bin abi waqash, orang yang selalu tepat sasaran dalam memanah dan dalam terlabulnya do'a. Maka tak hayal jika rosulullah -shalallahu'alaihiwasalam- pada perang uhud berkata dalam keadaan yang sangat genting dan tak ada lagi pelindungnya kecuali ia dan satu sahabatnya yang lain "lemparkan panahmu wahai sa'ad, aku korbankan ayah dan ibuku untukmu" sa'ad telah mencintai Allah dan rosulnya lebih dari orang tua terkasihnya maka rosul berikan kecintaannya lebih dari kedua orang tuanya.
Begitu seorang mukmin mencintai Allah dan Rosulnya melebihi segala sesuatu yang ada didunia, maka bersabarlah kawan tak bersua dengan keduanya demi menempuh jalan Allah dan RosulNya, yaitu menuntut ilmu.
Kerinduan kepada kedua orang tua mungkin tak akan bisa hanyutkan dimuara hanya dengan saling sapa di WA atau videocall bertatap muka, kecintaan kepada keduanyapun terhalang oleh lockdown, hanya bisa tersalurkan dengan do'a do'a dan tertelepatikan via tangis dikala mengingatnya.
Benarlah kecintaan kita kepada mereka tak akan terkata kata saking besarnya, bisakah kita menempatkan kecintaan seseorang mengungguli kecintaan kepada kedua?
Pemuda itu masih tetap tak mengindahkan perkataan sang ibu yang sangat ia cinta, ibunya pun tak habis cara, ia sangat paham bahwa anak laki lakinya itu benar benar mencintainya dan tak akan tega melihat ibunya terluka, maka ia berkata atas penolakaannya itu
"Jadi kau mengutamakan orang itu, mengiyakan apa yang ia bawa dari permintaan ibumu? Ibu bersumpah tak akan makan dan minum hingga kau mau kembali!" .
Bingung dan khawatir menguasai pikirannya, ia pun memilih pergi meninggalkan ibunya.
Hari hari bergulir berlalu tapi ibu pemuda itu masih keukeuh pada sumpahnya, kelemahan demi kelemahan perlahan menjalar pada tubuhnya yang tak ternutrisi lagi, hingga pada suatu hari seakan seluruh tubuhnya melemas tak berdaya agaknya ajal mulai menghampiri ibu itu. "Hai sa'ad! Ibumu! Ibumu sedang meregang nyawa, cepatlah semoga saja kehadiranmu bisa mengobatinya" kata seorang yang dari kejauhan menghampirinya, iapun bersegera menuju ibunya tercinta itu, dilihatnya tubuh wanita yang paling ia sayangi terbujur kaku, tapi ia masih sadarkan diri, didekatinya ibunya itu, ia dekatkan kepalanya merendah hingga setara dengan pembaringan ibunya, lalu ia bisikan pada telinganya "ibuku tercinta, walaupun ibu punya 100 nyawa, dan satu demi satu nyawa ibu meregang aku tidak akan meninggalkan agama ini! Maka terserah ibu mau makan atau tetap pada keadaan ini" katanya dengan penuh keyakinan dan kecintaan kepada Allah dan Rosulnya.
Dialah Sa'ad bin abi waqash, orang yang selalu tepat sasaran dalam memanah dan dalam terlabulnya do'a. Maka tak hayal jika rosulullah -shalallahu'alaihiwasalam- pada perang uhud berkata dalam keadaan yang sangat genting dan tak ada lagi pelindungnya kecuali ia dan satu sahabatnya yang lain "lemparkan panahmu wahai sa'ad, aku korbankan ayah dan ibuku untukmu" sa'ad telah mencintai Allah dan rosulnya lebih dari orang tua terkasihnya maka rosul berikan kecintaannya lebih dari kedua orang tuanya.
Begitu seorang mukmin mencintai Allah dan Rosulnya melebihi segala sesuatu yang ada didunia, maka bersabarlah kawan tak bersua dengan keduanya demi menempuh jalan Allah dan RosulNya, yaitu menuntut ilmu.
Komentar
Posting Komentar