KEMUNAFIKAN DIRI
Suara dengungan lebah samar samar terdengar dari sebuah toa masjid yang belum sempurna dibangun, tapi ketidak kamilannya itu tidak menghalangi untuk dinikamati keindahannya, dikucurkan pahala pahala ibadah dan sembahyangnya. Nampak dari dalam sekumpulan mahasiswa yang terharamkan dari liburannya selepas sholat ashar sedang duduk mengisi saf saf kuning sambil asyik menunaikan target tilawah harian dibulan Ramadhan.
Dibagian belakang masjid yang panjang dan lebarnya cukup menampung 10.000 jamaah terlihat sajadah sajadah merah terbujur rapi, sengaja untuk para mu'takif yang ingin beristirahat sebagai bekal kekuatan mereka untuk melipatgandakan ibadah.
Disalah satu tiang yang kokoh itu bersandar seorang dengan kebangsaan Suriah, yang telah lama mengkhidmahkan hidupnya untuk menuntut dan mengajar ilmu di Madinah 3 tahun yang lalu, disekitarnya terdapat beberapa santri yang dengan seksama memahami penjelasan Syaikh tentang makna makna kalimat Al Quran yang sukar dipahami ,yang pastinya tidak menggunakan bahasa tanah kelahiran mereka. "Itulah keunikan dan mukjizat dari ayat ayat Al Qur'an, setiap orang yang mencari jawaban dari masalahnya ia pasti akan mendapatkan kunci dan pelipur lara kegundahannya" kata syaikh itu dengan bahasa dan mimik wajahnya yang cool khas beliau dosen favorit kita.
Memang begitulah Ia diturunkan sebagai pemecah dari kejumudan diri kita ketika perbapasan dengan masalah. Bahkan bukan bagi para pemaksiat atau mereka yang masih bimbang tak kunjung bersua dengan jalan keistiqomahan, tapi juga bagi mereka yang sudah lama dalam jalan yang lurus dan yang sedang mengajak orang orang kembali berhijrah.
Para da'i jauh harus lebih mewanti wanti dan merasa paling waspada akan teguran ayat ayat Al Quran (QS As Shaff:2) (QS Al Munaffiqun:4)
Jangan sampai koar koar kebaikan tapi diri tak melakukan, tegur sana sindir sini tapi diri luput dari intropeksi, sehingga nantinya akan terperangkap pada paradoks diri dan masuk kedalam dua ayat diatas atau mungkin menyebar ayat Al Quran tapi tak lain yang diinginkan hanya popularits dan ketenaran. Mengulang kembali niat hati bukan ditujukan kepada orang lain tapi diri sendiri, dan tancapkan kuat kuat pada dada kata dan nasehat yang ia hadiahkan kepada saudaranya jangan sampai kecolongan dan menyalahinya.
Pantaskah kita merasa aman dari kemunafikan, merasa mendapat maghfirah dan ampunan setalah keluar dari Ramadhan sedangkan Umar bin Khattab, manusia terbaik setelah kedua sahabatnya, orang yang Allah muliakan islam dengan kehadirannya, akan tetapi masih saja dia terus bertanya kepada Hudhaifah sang penjaga rahasia Rosulullah-shalallahu'alaihiwasalam- "wahai hudzaifah, aku bertanya atas nama Allah, apakah aku termasuk dari orang orang munafik yang Rosul sebutkan?" Seketika itupun hudzaifah menangis, malu meratapi dirinya.
Sudah sepantasnya kita yang adalah mukmin biasa atau bahkan gelar mukmin belumlah pantas bagi kita, selalu mengintip hati kita dalam setiap amal sambil bertanya 'ikhlaskah kita?'.
Dibagian belakang masjid yang panjang dan lebarnya cukup menampung 10.000 jamaah terlihat sajadah sajadah merah terbujur rapi, sengaja untuk para mu'takif yang ingin beristirahat sebagai bekal kekuatan mereka untuk melipatgandakan ibadah.
Disalah satu tiang yang kokoh itu bersandar seorang dengan kebangsaan Suriah, yang telah lama mengkhidmahkan hidupnya untuk menuntut dan mengajar ilmu di Madinah 3 tahun yang lalu, disekitarnya terdapat beberapa santri yang dengan seksama memahami penjelasan Syaikh tentang makna makna kalimat Al Quran yang sukar dipahami ,yang pastinya tidak menggunakan bahasa tanah kelahiran mereka. "Itulah keunikan dan mukjizat dari ayat ayat Al Qur'an, setiap orang yang mencari jawaban dari masalahnya ia pasti akan mendapatkan kunci dan pelipur lara kegundahannya" kata syaikh itu dengan bahasa dan mimik wajahnya yang cool khas beliau dosen favorit kita.
Memang begitulah Ia diturunkan sebagai pemecah dari kejumudan diri kita ketika perbapasan dengan masalah. Bahkan bukan bagi para pemaksiat atau mereka yang masih bimbang tak kunjung bersua dengan jalan keistiqomahan, tapi juga bagi mereka yang sudah lama dalam jalan yang lurus dan yang sedang mengajak orang orang kembali berhijrah.
Para da'i jauh harus lebih mewanti wanti dan merasa paling waspada akan teguran ayat ayat Al Quran (QS As Shaff:2) (QS Al Munaffiqun:4)
Jangan sampai koar koar kebaikan tapi diri tak melakukan, tegur sana sindir sini tapi diri luput dari intropeksi, sehingga nantinya akan terperangkap pada paradoks diri dan masuk kedalam dua ayat diatas atau mungkin menyebar ayat Al Quran tapi tak lain yang diinginkan hanya popularits dan ketenaran. Mengulang kembali niat hati bukan ditujukan kepada orang lain tapi diri sendiri, dan tancapkan kuat kuat pada dada kata dan nasehat yang ia hadiahkan kepada saudaranya jangan sampai kecolongan dan menyalahinya.
Pantaskah kita merasa aman dari kemunafikan, merasa mendapat maghfirah dan ampunan setalah keluar dari Ramadhan sedangkan Umar bin Khattab, manusia terbaik setelah kedua sahabatnya, orang yang Allah muliakan islam dengan kehadirannya, akan tetapi masih saja dia terus bertanya kepada Hudhaifah sang penjaga rahasia Rosulullah-shalallahu'alaihiwasalam- "wahai hudzaifah, aku bertanya atas nama Allah, apakah aku termasuk dari orang orang munafik yang Rosul sebutkan?" Seketika itupun hudzaifah menangis, malu meratapi dirinya.
Sudah sepantasnya kita yang adalah mukmin biasa atau bahkan gelar mukmin belumlah pantas bagi kita, selalu mengintip hati kita dalam setiap amal sambil bertanya 'ikhlaskah kita?'.
Komentar
Posting Komentar