GURU DALAM HATI
Pada sebuah kesempatan seorang ustadz sekaligus motivator mengajukan sebuah pertanyaan kepada para calon guru masa depan "dari sekian banyak guruyang pernah mengajar kalian, sebutkan saja satu nama yang kalian rasakan kehadiran hatinya saat mengajar kalian?" Setiap anak mulai berfikir, mengorek orek memori lamanya tentang guru yang mengajar dengan hati, semua mahasiswa mulai mendapatkan jawabannya satu persatu, mengacungkan tangannya dan menyebutkan kisahnya bersama gurunya itu kecuali aku, seakan aliran pikiran ini menemukan batasannya dan tak mendapatkan apa yang aku cari, aku bingung dan sedikit iri dengan teman temanku yang telah menggenggam ditangannya sebuah nama.
Menjadi seorang guru memang bukan cita citaku sedari kecil, bahkan pandangan mata ini dulu sangat menghinakaan sebuah profesi ini, entah itu karna kenakalanku sehingga pada banyak kesempatan aku berada pada arah yang besebrangan dengannya, atau mungkin karna pekerjaan itu terlihat tidak menyenangkan, entahlah, Yang penting dulu aku sangat tidak ingin menjadi guru.
Tapi kini telah banyak perubahan merembes kesela sela hatiku memberi sebuah bekas kebaikan, bersamaan dengan perubahan itu adalah dengan datangnya hidayah dari sang rahim, dan digiringlah aku oleh Allah melalui tentara tentaranya yang menempuh perjalanan cukup panjang ke bumi bogor ini, sehingga jadilah motto yang melekat pada punggung jaket hitam itu telah melekat pada sudut hatiku, syi'ar itu berbunyi "sunna'u qodatal mustaqbal" -sang pencetak pemimpim masa depan-
Jauh jauh hari selah pertanyaan itu dilontarkan masih saja terngiang tanya dalam dada "apakah benar aku tidak punya guru yang mengajar dengan hati?" Kucari terus kucari hingga jalan buntu yang kutemui, sampai akhirnya kutemukan sebuah nama yang sudah mulai lapuk dalam tumpukan kenangan yang mulai berdebu, ku coba membaca namanya ternyata tintanya sudah mulai pudar, ternyata telah lamaaa sekali ingatan ini terabaikan, ku baca lagi hingga akhirnya aku bisa menyatukan huruf demi hurufnya tertulis terbaca 'bu titing' ya, guru kelas enam disebuah mi muhammadiyah, samar samar ingatanku tentangnya, walaupun moment moment itu tak lagi ku ingat akan tetapi satu hal yang pikiran ini simpulkan dari serpihan serpihan kisahnya dulu adalah kebaikannya, kesabarannya, dan sifatnya yang sangat mengerti keadaan anak didiknya, itu saja yang bisa aku kumpulkan tentangnya.
"Mas bu titing nanyain kabarmu" dulu adikku yang sekolah ditempat sekolahku dulu pernah bilang seperti itu, akan tetapi sampai detik ini aku sama sekali belum menamlakan ujung hidungku dihadapannya, wah betapa durhakanya aku kepada prang yang pernah mengajari aku dulu, akhirnya ku niatkan menyambahi rumahnya yang aku sendiri sudah lupa dimana, saat bertemu dengannya sebuah senyuman mekar diwajahnya yang sudah mulai menampakan ciri ketuaannya, tapi bagiku wajahnya yang ini masih sama seperti yang dulu tak berubah, pembicaraan hangat terjadi diantara kita bertiga, ada rasa malu dan tidak tau diri pasalnya semenjak kelulusan aku belum pernah menampakan diri lagi, hingga saat puncak pembicaraan kita yaitu sebuah pertanyaan dari relung hati ini "bu... ustadzku sering berpesan kalian haruslah menjadi guru yang mengajar dengan hati, dan apasih defenisi mengajar dengan hati menurut ibu?" Ia pun bercerita tentang sejuta pengalamannya selama sekitar 20 thun mengajar, kedua bola matanya seakan akan melihat jauh kebelakang menerobos bayang bayang masa lalu dan tidak kembali kecuali dengan pengalaman pengalaman emas yang kita dengar 5 point besar yang bisa ku serap dari air garam kehidupannya ini ;membagikan rasa dan rezeki kita kepada mereka walaupun sedikit ;beri perhatian sesuai dengan kebutuhan setiap siswa; jangan malu minta maaf; jangan sekali kali mempermalukan murid; jika dia melanggar, hukum dia dengan setelah mendengar alasan dan ingat hukuman haruslah yang membangun sisi kependidikannya.
Pertemuan kami diakhiri dengan pelukan hangat ibu guru kepada adikku hilwa, senang rasanya melihat kedekatan ini, aku janji bu meneruskan pejuangan guru guru ikhlas, guru yang berproyeksi kepada penyelamatan generasi dan bukan sekedar mendapatkan kompesasi, guru mengajari bagaimana cara menghadapi kehidupan bukan sekedar lulus dari ujian, guru yang memang berniat dan bertekad dengan keseriusan bukan karena pelarian dan menempuh jalan jalan instan.
Menjadi seorang guru memang bukan cita citaku sedari kecil, bahkan pandangan mata ini dulu sangat menghinakaan sebuah profesi ini, entah itu karna kenakalanku sehingga pada banyak kesempatan aku berada pada arah yang besebrangan dengannya, atau mungkin karna pekerjaan itu terlihat tidak menyenangkan, entahlah, Yang penting dulu aku sangat tidak ingin menjadi guru.
Tapi kini telah banyak perubahan merembes kesela sela hatiku memberi sebuah bekas kebaikan, bersamaan dengan perubahan itu adalah dengan datangnya hidayah dari sang rahim, dan digiringlah aku oleh Allah melalui tentara tentaranya yang menempuh perjalanan cukup panjang ke bumi bogor ini, sehingga jadilah motto yang melekat pada punggung jaket hitam itu telah melekat pada sudut hatiku, syi'ar itu berbunyi "sunna'u qodatal mustaqbal" -sang pencetak pemimpim masa depan-
Jauh jauh hari selah pertanyaan itu dilontarkan masih saja terngiang tanya dalam dada "apakah benar aku tidak punya guru yang mengajar dengan hati?" Kucari terus kucari hingga jalan buntu yang kutemui, sampai akhirnya kutemukan sebuah nama yang sudah mulai lapuk dalam tumpukan kenangan yang mulai berdebu, ku coba membaca namanya ternyata tintanya sudah mulai pudar, ternyata telah lamaaa sekali ingatan ini terabaikan, ku baca lagi hingga akhirnya aku bisa menyatukan huruf demi hurufnya tertulis terbaca 'bu titing' ya, guru kelas enam disebuah mi muhammadiyah, samar samar ingatanku tentangnya, walaupun moment moment itu tak lagi ku ingat akan tetapi satu hal yang pikiran ini simpulkan dari serpihan serpihan kisahnya dulu adalah kebaikannya, kesabarannya, dan sifatnya yang sangat mengerti keadaan anak didiknya, itu saja yang bisa aku kumpulkan tentangnya.
"Mas bu titing nanyain kabarmu" dulu adikku yang sekolah ditempat sekolahku dulu pernah bilang seperti itu, akan tetapi sampai detik ini aku sama sekali belum menamlakan ujung hidungku dihadapannya, wah betapa durhakanya aku kepada prang yang pernah mengajari aku dulu, akhirnya ku niatkan menyambahi rumahnya yang aku sendiri sudah lupa dimana, saat bertemu dengannya sebuah senyuman mekar diwajahnya yang sudah mulai menampakan ciri ketuaannya, tapi bagiku wajahnya yang ini masih sama seperti yang dulu tak berubah, pembicaraan hangat terjadi diantara kita bertiga, ada rasa malu dan tidak tau diri pasalnya semenjak kelulusan aku belum pernah menampakan diri lagi, hingga saat puncak pembicaraan kita yaitu sebuah pertanyaan dari relung hati ini "bu... ustadzku sering berpesan kalian haruslah menjadi guru yang mengajar dengan hati, dan apasih defenisi mengajar dengan hati menurut ibu?" Ia pun bercerita tentang sejuta pengalamannya selama sekitar 20 thun mengajar, kedua bola matanya seakan akan melihat jauh kebelakang menerobos bayang bayang masa lalu dan tidak kembali kecuali dengan pengalaman pengalaman emas yang kita dengar 5 point besar yang bisa ku serap dari air garam kehidupannya ini ;membagikan rasa dan rezeki kita kepada mereka walaupun sedikit ;beri perhatian sesuai dengan kebutuhan setiap siswa; jangan malu minta maaf; jangan sekali kali mempermalukan murid; jika dia melanggar, hukum dia dengan setelah mendengar alasan dan ingat hukuman haruslah yang membangun sisi kependidikannya.
Pertemuan kami diakhiri dengan pelukan hangat ibu guru kepada adikku hilwa, senang rasanya melihat kedekatan ini, aku janji bu meneruskan pejuangan guru guru ikhlas, guru yang berproyeksi kepada penyelamatan generasi dan bukan sekedar mendapatkan kompesasi, guru mengajari bagaimana cara menghadapi kehidupan bukan sekedar lulus dari ujian, guru yang memang berniat dan bertekad dengan keseriusan bukan karena pelarian dan menempuh jalan jalan instan.
Komentar
Posting Komentar